
Infeksi di sebelah matanya yang terluka segera menjalar ke
sebelah mata lainnya dan mengakibatkan kebutaan total pada kedua matanya.
Meskipun tidak bisa melihat, Louis kecil berhasil
menunjukkan kemauan yang kuat untuk belajar. Orang tua Louis bersama guru
sekolah setempat melihat potensi yang besar pada dirinya. Oleh karena itu,
ketika memasuki usia sekolah, ia diizinkan mengikuti pelajaran di kelas –
bersama teman-temannya yang berpenglihatan normal – dengan mengandalkan indra
pendengaran. Ternyata, ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Satu-satunya
kendala, ia tidak dapat membaca dan menulis pelajaran kecuali sebatas
mendengarkan apa yang disampaikan gurunya secara lisan.

Pada usia 10 tahun, ia memperoleh beasiswa untuk belajar
pada Royal Institution for Blind Youth di Paris, sebuah lembaga pendidikan
khusus untuk anak-anak tunanetra. Di sana, ia belajar membaca huruf-huruf yang
dicetak timbul pada kertas dengan cara merabanya. Pada sekolah ini juga
terdapat beberapa buku dengan sistem cetak timbul yang disediakan oleh pendiri
sekolah, Valentin Hauy. Buku-buku ini memuat huruf-huruf berukuran besar yang
dicetak timbul pada setiap halamannya. Karena ukuran huruf-hurufnya yang besar,
ukuran bukunya pun terbilang besar sehingga harganya sangat mahal. Sekolahnya
hanya memiliki 14 buku seperti ini.
Louis muda dengan penuh kesabaran berhasil ”melahap” semua
buku itu di perpustakaan sekolahnya. Louis Braille dapat merasakan setiap huruf
yang dicetak timbul pada buku-buku itu, tetapi cukup menyita waktu untuk dapat
membaca dan memahami setiap kalimatnya. Dibutuhkan waktu beberapa detik untuk
mengidentifikasi satu kata dan ketika telah sampai pada akhir kalimat, ia
sering lupa tentang apa yang telah dibacanya pada awal kalimat. Louis yakin
pasti ada cara yang lebih mudah sehingga kaum tunanetra dapat membaca secepat
dan semudah orang yang dapat melihat.
Suatu hari pada 1821, seorang kapten angkatan bersenjata
Prancis, Charles Barbier, berkunjung ke sekolah Louis. Barbier mempresentasikan
penemuannya yang dinamakan night writing (tulisan malam), sebuah kode yang
memungkinkan pasukannya berbagi informasi rahasia di medan perang tanpa perlu
berbicara atau menyalakan cahaya senter untuk membacanya. Kode ini terdiri atas
12 titik timbul yang dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat
dirasakan oleh ujung-ujung jari.
Sayangnya, kode ini terlalu rumit bagi sebagian besar
pasukannya sehingga ditolak untuk digunakan secara resmi di kesatuannya, tetapi
tidak bagi pelajar tunanetra berusia 12 tahun, Louis Braille. Louis muda segera
menyadari betapa sistem titik timbul ini akan sangat berguna jika ia berhasil
menyederhanakannya. Setelah kunjungan Barbier, ia serius bereksperimen dengan
menghasilkan sistem-sistem titik timbul yang berbeda. Dalam tiga tahun, pada
usia 15 tahun, akhirnya ia berhasil membangun satu sistem ideal yang sekarang
dinamakan huruf braille, menggunakan satu sel 6 titik dan didasarkan ejaan
normal.

Setiap karakter atau sel braille tediri atas enam posisi
titik yang disusun dalam dua kolom yang masing-masing mengandung tiga posisi
titik sehingga membentuk persegi panjang. Satu titik atau lebih mungkin
ditimbulkan pada salah satu atau beberapa dari keenam posisi titik itu untuk
mewakili huruf alfabet, tanda baca, atau bilangan tertentu. Louis Braille menemukan
63 kombinasi susunan titik timbul yang mungkin. Apakah ia berhenti sampai di
sini?
Tidak. Ia bahkan terus mengembangkan sistem ini pada
tahun-tahun berikutnya dan berhasil menambahkan simbol-simbol untuk matematika
dan musik. Pada 1829, Louis Braille menerbitkan Method of Writing Words, Music
and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged by Them,
buku braille pertama yang pernah terbit di dunia. Kaum tunanetra membaca
tulisan braille dengan menggerakkan ujung-ujung jari mereka di atas titik-titik
yang timbul itu. Mereka dapat menulis huruf braille pada suatu kertas di atas
mesin 6 kunci yang dinamakan braillewriter (penulis braille) dengan menggunakan
stytus, alat semacam bolpoin tanpa tinta yang ujungnya runcing.
Akhirnya, Louis Braille menjadi guru pada sekolah tempat ia
pernah menjadi murid, Royal Institusion for Blind Youth. la menjadi guru yang
disukai dan dihormati murid-muridnya. Tetapi sayang, ia tidak sempat melihat
sistem baca-tulis temuannya digunakan secara luas di seluruh dunia. Pada 6
Januari 1852, di usia yang ke-43, ia meninggal karena serangan TBC.
Pada mulanya, orang tidak berpikir bahwa kode braille
merupakan sesuatu yang berguna untuk kaum tunanetra. Banyak orang yang menduga
sistem braille akan mati sebagaimana penemunya. Bersyukur ada sedikit orang
yang menyadari pentingnya penemuan Louis Braille. Pada 1868, Dr. Thomas
Armitage memimpin sekelompok orang tunanetra – yang terdiri atas empat orang –
mendirikan lembaga untuk mengembangkan dan menyebarkan sistem temuan Louis
Braille. Kelompok kecil ini terus tumbuh dan berkembang menjadi Royal National
Institute of the Blind (RNIB), yang sekarang dikenal sebagai penerbit terbesar
buku-buku braille di Eropa. Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia
membaca dan menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang, kode braille
telah diadaptasi hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia. Louis
telah membuktikan bahwa dengan motivasi yang kuat, kita dapat melakukan hal
yang sebelumnya tidak masuk akal. ***
0 comments:
Post a Comment